Jumat, 17 Februari 2017

Cerita Bersambung "Bintang dari Tuhan" 01

Bintang dari Tuhan
Bagian 01
Author: Catur Fitriyani

~
"Yang ingin minta tandatangan novelis muda yang berbakat, yaitu Fifi Milanova, harap bersabar. Mohon antre dengan bijak."

Usai menandatangani sebuah novel dari seorang perempuan remaja sepantaranku, orang itu menjabat tanganku, menghambur pergi dengan wajah berbinar. Kulihat banyak orang berebut duduk dikursi di depan ku, hanya dibatasi meja. Kerumunan orang yang berdesakan, mengabaikan intruksi Agnes yang berulangkali angkat suara. Agnes sampai geleng-geleng, kelimpungan harus berbuat apa. Padahal sudah ada dua penjaga yang menertibkan, berusaha menghalangi orang-orang yang rasanya ingin mendekatiku.

"Frido..." gumamku tak percaya kala Frido duduk. Frido, teman sekelas yang suka sekali meremehkan diriku. Bagaimana mungkin?

"Iya, Fifi. Aku bener-bener gak nyangka kamu bisa jadi novelis. Maaf udah ngeremehin kamu. Boleh minta tandatangan? Sebenarnya aku salah satu penggemar beratmu."

Novel bersampul pria dan wanita saling menyatukan kedua tangan, namun terbatas sebuah sekat pembatas berupa kaca, berjudul Dinding Kaca, dengan nama penulis Fifi Milanova, yang tak lain adalah namaku sendiri, disodorkan Frido. Mengangguk kikuk, menandatangani dan mengembalikannya pada Frido.

"Terimakasih, aku sayang kamu." Frido memamerkan senyuman. Matanya menyipit dengan tatanan poni miring, membuat Frido tampak berbeda.

Entah kenapa sekarang aku seperti es batu yang ditaruh di tempat terbuka melihat Frido begitu ramah. Aku seakan meleleh. Tanganku merayap memegang dada, aku dapat merasakan jantungku bekerja dua kali lipat lebih cepat dari biasanya. Ditambah pernyataan terakhir itu, membuatku kehilangan beban tubuh dibumi. Tubuhku terasa terangkat, melayang-layang tinggi.

"Aku juga." balasku, sangat pelan. Bahkan nyaris tak kudengar.

"Apa? Aku gak denger."

"Aku juga." gumamku.

"Apa? Kurang kenceng?"

"Aku juga sayang kamu, Frido." Frido tersenyum senang setelah aku berteriak.

Gelak tawa terdengar jelas ditelinga, membuatku membuka mata. Tanganku yang mulanya mengatup di dekat mulut, layaknya corong, beralih memegangi kepala yang terasa pegal akibat bersandar dimeja. Belum sepenuhnya sadar, memandang sekeliling.

Kelas 12-Ipa3 lebih pantas dijuluki pasar ketimbang ruangan untuk belajar. Pasalnya, kelas ini menyimpan tiga puluh murid yang aneh-aneh. Misalnya yang kulihat sekarang ada Serly, dia sedang berdandan. Dandi, upilers sejati. Lalu Reno, cowok rempong yang lagi menata rambut keritingnya melalui kaca. Pokoknya kelas ini isinya orang aneh!

"Aku juga sayang kamu, Frido."

Andi baru saja berteriak. Diikuti tawa riuh, juga sahutan suara godaan yang tertuju untukku maupun Frido, pria yang duduk disamping Andi. Frido merunduk, menahan malu.

Aku menoleh pada Agnes, meminta penjelasan. Tapi gadis itu tak menggubris, melakukan hal sama seperti yang lain. "Cie, Fifi..."

Aku makin bingung ketika Frido berjalan di sampingku, seperti menatap benci, meski hanya sekilas lalu keluar kelas. Terdiam, aku meringis mengingat sesuatu. Keluar kelas, meninggalkan teman sekelas yang justru makin menjadi-jadi.

Di depan kelas, aku menggeram mendengar suara bariton Anton berseru, "Cie...nyusulin Frido!"

~
Dengan langkah gontai, aku menyusuri koridor yang tampak senyap. Sebab, kegiatan belajar mengajar sedang berlangsung. Tetapi kelasku sering jam kosong. Seperti saat ini, makanya aku keluar daripada menanggung malu.

Aku tak tahu kaki ini akan berhenti dimana. Terus saja melangkah, kuputuskan menuju ruang musik yang pintunya tertutup setengah. Karena terburu-buru untuk segera sampai, terpekik kaget kala terjerembab di selokan di depan ruang itu. Kaki kananku sakit.

"Ceroboh!"

Mendongak, ternyata Frido. Ia berada di pintu ruang musik sambil bersilang dada. Kuabaikan, berdiri tertatih-tatih. Duduk di lantai, menjajarkan kaki. Lututku tampak kebiru-biruan, sedikit memar.

"Tolongin kek, atau gimana? Gak berperasaan banget!"

"Kamu bilang apa?"

"Eh?" ternyata tadi Frido mendengar aku menggumam.

Pria itu tiba-tiba berdiri di depanku. Kemudian berjongkok, mengamati lukaku. Tumben sekali ia peduli, batinku. Tetapi hatiku seperti senang jika ia begini.

"Gak usah liat-liat, entar kamu makin naksir aku."

Aku berdecak, "Pede banget."

"Kenyataan."

"Apa buktinya?"

Ia memandangku. Aku memundurkan wajahku saat ia bergerak maju. "Tatap mataku."

Ah, aku memang melihat matanya, tapi tidak berani memandang terlalu lama. Membuang muka, membuat ia kembali berkata, "Tatap."

Aku menggeleng.

"Tatap!"

Bugh!
Frido sedikit mundur gara-gara bogemanku. Aku tertawa melihat ia meringis kesakitan memegangi mata. Namun khawatir menyelinap kala Frido terus-terusan mengeluh. Apalagi ketika kutanya apakah ia baik-baik saja, ia malah mengencangkan suaranya yang meronta kesakitan.

Bingung harus berbuat apa, aku meminta Frido agar menjauhkan tangannya yang menutupi mata. Karena tak kunjung melakukan apa yang kusuruh, kupegang kedua tangannya dan menarik. Frido melotot, otomatis aku berteriak kaget, kaki kiriku menendang dirinya. Tubuhnya hampir terjatuh ke selokan.

"Awh, Fifi!" decaknya kesal. Aku menjulurkan lidah, terpekik saat ia meninju lutut kananku yang memar. "Udah, cukup! Kita impas!" ujarnya yang mengetahui kalau tanganku sudah siap membalasnya dengan pukulan.

Aku mengangguk. Teringat peristiwa di kelas, aku menunduk, "Di kelas. Maaf, tadi."

Hening. Kulihat Frido duduk di rerumputan di depanku. Berbatasan dengan selokan. Ia diam.

"Do?" lirihku.

"Wajar aja sih. Secara, aku kan keren parah." ia mulai menunjukkan sifat songong, pura-pura menarik kerah seragam putih abu-abu. "Jadi, disukai cewek udah hal biasa. Sampe kebawa mimpi? Hm, mungkin DIA naksir level berat."

Kutatap sinis dirinya yang tersenyum bangga. Aku sebal padanya, waktu melafalkan kata 'dia', ia menatapku, seolah aku termasuk golongan orang yang ia katakan.

"Mimpi apa?"

"Kepo."

"Gak juga. Palingan mimpi kalo aku bilang suka sama kamu, makanya tadi kamu jawab gitu. Sampe teriak, saking senengnya ditembak cowok keren. Iya kan?"

"Enak aja. Tadi aku mimpi jadi penulis novel, kamu minta tandatanganku. Kamu bilang, kamu fans beratku." terus kamu nyatain perasaan ke aku, dan aku jawab juga punya rasa yang sama.

Frido tertawa keras, memukul-mukul rumput. Lalu menatapku tajam, "Kamu jadi novelis? Aku fans beratmu?"

"Iya. Dalam kehidupan nyata, aku bercita-cita menjadi novelis. Karena itulah, sampai sering terbawa mimpi." jawabku sambil tersenyum.

"Ya ampun, itu hanya mimpi. Dan gak akan pernah jadi kenyataan. Nilai bahasa Indonesia saja di bawah KKM, berlagak bercita-cita jadi novelis. Cita-cita itu disesuaikan sama kemampuan, bukan di bawah kemampuan."

Jleb!
Bagai ditusuk duri, meski kecil namun sakit. Omongan Frido melukai perasanku. Hatiku pedih. Frido memang sering bicara asal, tapi ini sungguh berbeda. Sakit luar biasa. Coba fikirkan, jika kalian berada di posisiku, direndahkan seseorang karena kita mengharapkan sesuatu yang bahkan kemampuan kita rendah untuk mencapai itu, bagaimana rasanya? Sakit, bukan?

"Suatu saat aku akan membuktikan perkataan menyakitkanmu itu, hingga kau menyadari bahwa ucapanmu salah besar." menghela nafas sebelum melanjutkan, "Cita-cita akan terwujud, tidak peduli seseorang itu awalnya mengusai sesuatu bakat yang dimimpikan ataupun tidak sekalipun. Bahkan, kadang cita-cita malah berbanding terbalik dengan hal yang dikuasai orang itu. Itu semua bisa saja terjadi, tergantung seberapa besar kita melakukan niat, usaha, dan do'a pada Tuhan." paparku diakhiri senyuman.

Aku tahu saat aku menjelaskan hal ini, tak ada gunanya bagi Frido. Disela aku berkata, beberapa kali ia pura-pura menguap. Sungguh tak menghargai diriku yang sedang berbicara.

Sekali lagi ia menguap. "Hoam...udah selesai wejangannya?" aku mengangguk. "Kalau gitu buktiin hingga kelulusan nanti. Jika kamu bener-bener jadi novelis, aku akan nikahin kamu. Tapi, kalau kalah, kamu jadi pembantuku selama dua bulan."

"Apa gak ada hadiah lebih buruk dari dua hal itu?"

"Sungguh terlalu." menggeleng, berujar menggunakan kata-kata Raja Dangdut, Haji Rhoma Irama. "Jadi gimana? Berani terima tantangan?"

Aku terdiam. Menatap lamat-lamat uluran tangan itu, Frido tersenyum merendahkan. "Pasti kamu takut. Kamu tidak bisa menyanggupi tantanganku hingga bulan Mei, bahkan jika tidak ada batasan waktu sekalipun, kamu tidak akan pernah bisa."

Dengan geram kubalas jabatannya pertanda menerima tantangannya, ia tampak terkejut, "Oke, aku terima tantanganmu."

Setelah ini aku harus menggapai anganku sampai berhasil dalam jangka...ini bulan Agustus, berarti kira-kira 9bulan lagi harus sudah terwujud.

"Jika tidak sanggup, jangan dipaksakan. Kamu bisa bilang sekarang atau ditengah jalan." Frido bangun, berbalik, tetapi kembali memandangku yang masih duduk. "Oh iya, persiapkan mentalmu. Sampai jumpa untuk jadi pembantu gratisan di rumahku Mei tahun depan, 9bulan lagi."

"Akan kubuktikan." desisku usai ia pergi dengan angkuh.

~
Monitor perlahan tertulis kata 'aku'. Kemudian dihapus, lalu tertulis; Pelangi, gadis yang. Berhenti, jemari di atas keyboard terdiam. Dengan rahang mengatup, memejamkan mata. Siluet wajahku pasti terlihat lelah, lingkaran hitam menghiasi bawah mata. Aku sering tidur larut malam, lantaran menghabiskan waktu di depan laptop untuk menuangkan pemikiran demi membuat sebuah cerita yang tak pernah selesai. Salah satu tangan beralih memijat kening, otakku terasa lelah.

Terlebih tantangan bodoh dari Frido, membuatku terkungkung dilema. Aku harus membungkam mulut pedas itu dengan menerima tantangannya dan mewujudkan hal ini. Tetapi, ada benarnya ucapan pria itu. Aku sangat lemah dalam pelajaran bahasa Indonesia, yang berarti aku akan lemah juga merangkai kosakata di dalam membuat cerita. Lagipula, sebenarnya aku juga tidak pandai mengarang. Aku sering membuat cerita, tetapi menurutku buruk, jadi tidak kuteruskan. Kadang parahnya kehabisan ide ditengah jalan. Aku sudah berulangkali membuat cerita dari dulu, tapi tak ada yang sampai selesai. Bagaimana ini? Apa aku harus menyerah dan mengakui kekalahan? Tapi ini baru beberapa jam setelah tantangan itu kuterima tadi siang.

Aku menggeleng mendengar batinku bicara sendiri. Tersentak mendengar sebuah suara, "Belum tidur?"

Tergagap aku menoleh pada ibuku yang sudah ada di sampingku. Astaga, tadi aku lupa mengunci pintu. Kenapa sifat cerobohku ini susah sekali hilang? Denyut jantungku berdegup cepat mengetahui mata ibuku melirik laptop.

"Kamu masih melakukan ini lagi? Bukankah sudah berulangkali ibu dan ayah jelaskan, kamu tidak boleh memiliki hobi atau cita-cita menjadi penulis?" nadanya sarat kekecewaan.

Kuhela nafas, ayah dan ibu sering mengatakan padaku agar tidak melakukan ini. Kata mereka, hobiku ini tak ada gunanya, cuma buang-buang waktu serta fikiran. Aku sudah menjelaskan, bahwa ini memang keinginanku sejak dulu. Tapi mereka bersikeras melarang, karena itulah aku melakukan hobiku ketika malam hari, yang menurutku kedua orangtuaku sudah tidur.

Kulirik jam dinding, pukul satu dini hari. Mengerti gerakanku, ibu berbicara, "Ibu mau ke toilet, tapi lihat pintumu yang sedikit terbuka, ibu akan menutup pintu. Karena lampu di dalam masih menyala, ibu putuskan untuk mematikan saklar lampu di dekat pintu. Ternyata ada kamu yang belum tidur, dan---" ibu menghembuskan nafas, "Ibu kecewa padamu."

"Tapi bu, ini hobiku. Dan aku bercita-cita jadi novelis." ujarku usai beranjak.

"Apa kamu bilang?!" aku terperanjat waktu ibu berteriak dengan nada menghentak.

"Aku ingin jadi novelis," jawabku setelah menunduk, mengamati jari-jari kakiku yang beralaskan sandal jepit.

"Kamu tidak boleh jadi novelis!"

Terkesiap, ayah masuk kedalam kamarku, berdiri di samping ibu. Mata hitam pekatnya menatapku tajam.

"Lihat anakmu! Ia membangkang larangan kita. Diam-diam dia menulis cerita di laptop setiap malam, ketika kita sudah tertidur."

"Apa benar yang dikatakan ibumu?" aku menunduk, melonjak kaget waktu ayah membentak, "JAWAB!"

Ayah menghampiri laptop di atas meja belajar, dekat dua sisi jendela kayu yang tertutup. Melihat tulisan dilayar, mengembalikannya dan membuka memori penyimpanan. Kugigiti bibir bawahku saat ayah membuka-buka folder, mencari-cari sesuatu. Jantungku seperti copot dari tempatnya, kala ayah membuka folder berjudul Fifi Milanova.

Ayah menggeram mengetahui tulisan-tulisan yang tersimpan di sana. Memandang sengit padaku, "Jadi selama ini kamu melanggar larangan kami?"

"Bu---bukan begitu, ayah. Aku hanya menuangkan apa yang ingin kutulis. Aku ingin jadi penulis karya sastra."

"Itu tidak ada gunanya, hanya buang-buang waktu, tenaga dan fikiran. Apa kamu fikir jika menjadi penulis, kamu bisa memiliki masa depan cerah?" alis ayah terangkat sebelah, menunggu jawaban dariku.

"Apa ayah dan ibu tega, menghalangi cita-citaku?" jawabku lirih.

Segera kupejamkan mata melihat tangan ayah melayang. Pekikan kaget dari ibu membuatku membuka mata. Aku panik, ikut memegangi ayah yang sudah dibantu ibu. Ayah lemas, tangannya memegang dada. Tubuhnya mundur kebelakang, hingga mendorong kursi kedepan beberapa centimeter.

Hatiku sedih, ayah menepis tanganku. Ia tidak mau kubantu. Sudah kutawarkan agar duduk diranjangku, tapi ayah meminta ibu agar membawanya ke kamar mereka. Seolah ayah tak menganggap aku ada. Ibu melihatku dengan tatapan yang tak ku mengerti sebelum memapah ayah pergi dari kamarku.

~
Ketukan di pintu kamar, serta seruan dari ibu agar aku segera sarapan, nampaknya berhasil merubah moodku yang buruk. Aku balas berteriak mengiyakan, menata buku kedalam tas cepat-cepat. Kufikir ajakan ibu pertanda kejadian semalam sudah berakhir. Nyatanya tidak. Di meja makan, ibu mengambilkan makanan ke ayah, aku menyodorkan piring. Tapi cuma dilirik, akhirnya aku mengambil makanan sendiri. Biasanya diambilkan ibu.

Acara sarapan hari ini tak mengenakkan. Selesai meneguk air putih, aku berniat meminta maaf pada orangtuaku. "Yah?" tapi ayah masuk kedalam kamar dan menutupnya. "Bu?"

Ibu menghembuskan nafas lelah, "Cepat ke sekolah. Nanti telat."

Mengangguk risau, menyalami ibuku dan pamit ke sekolah.

~
Di sekolah, aku tidak bisa fokus dengan pelajaran. Yang kufikirkan adalah ayah dan ibu. Ayah masih marah, sedangkan ibu sepertinya iya. Usai bel istirahat berbunyi, aku berbicara, "Ah, tetapi orangtua melarang sesuatu pasti ada sebabnya, paling tidak mereka lebih berpengalaman dan memikirkannya matang-matang."

"Sehat mbak?" Agnes menempelkan punggung tangan ke dahiku. Ia menggeleng-geleng, "Panas."

Kutepis tangannya. "Gak lucu."

"Jangan menyerah...jangan menyerah...jangan menyerah...oo..."

Tanganku menggaruk kepalaku yang tak gatal. Agnes malah menyanyikan lagu dari grup band D'Masiv.

"Diem lu, suara cempreng juga!"

Aku tertawa melihat Fira protes, yang duduk dibelakang Agnes.

"Suka-suka dong, mulut-mulut siapa?"

"Hah, belut?" Siska, teman sebangku Fira ikut nimbrung.

Kami bertiga memandangnya sebal, telinga Fira memang agak bermasalah.

"Dasar budeg!" seru Fira, ia paling emosional diantara kami bereempat.

Oke, sedikit penjelasan. Di kelas ini aku memiliki tiga teman dekat, bisa dibilang sahabat. Namanya Agnes, Fira, dan Siska. Kalau Agnes suka beramah-tamah dengan siapapun. Fira tidak bisa mengontrol emosi, dan Siska seperti yang sudah kuceritakan, mengalami gangguan pada indera pendengaran dan jika berfikir suka lemot. Sedangkan aku, silahkan pahami bagaimana karakterku dicerita ini. Hehe.

"Kamu bawa gudeg?" Siska bertanya dengan wajah polosnya. Fira mengeratkan gigi, mengepalkan kedua tangan saking gemasnya dengan tingkah Siska, polos-polos ngeselin.

"Gua pukul juga lu!"

Agnes melarang, "Eh, eh. Jangan. Sabar bu bos."

Fira berdeham malas. "Eh, si Fifi kenapa?"

Tidak menjawab, sedaritadi hanya memperhatikan ketiga temanku mengobrol.

"Mungkin Fifi lagi sakit gigi."

Fira melotot pada Siska, Siska langsung menutup mulut menggunakan kedua tangan.

"Aku pengen jadi novelis."

"Hah? Nilai bahasa Indonesia mu 'kan---ups sorry."

Aku tersenyum maklum. "Gapapa, Fir. Emang bener yang kamu omongin. Yang perlu kalian tahu, dari dulu aku pengen jadi novelis."

Tetapi ketiga temanku tertawa. "Yayaya, kalian gak bisa ngertiin aku. Dan parahnya kedua orangtuaku melarang aku melakukan ini, mereka saja tadi pagi marah gara-gara aku ketahuan menulis cerita secara diam-diam. Katanya cita-citaku gak berguna sama sekali. Apa yang harus aku lakukan sekarang?"

Melihat ketiga temanku diam, aku mengerang. Percuma bicara pada mereka, tak ada yang mau memahami keadaanku. Dengan kesal aku berjalan keluar kelas.

~
"Kenapa mereka gak bisa ngertiin aku sih? Tuhan, tolong kirimkan seseorang yang mau mengerti diriku. Aku mohon, Tuhan."

Bersamaan doa selesai ku panjatkan, ponsel disamping tempatku duduk bergetar. Aku mengernyit mendapat satu pesan dari nomor yang tak kukenal.

Nomor tidak dikenal: Doa diterima.

BERSAMBUNG~~~

Hey... Terimakasih sudah meluangkan waktu untuk membaca...